Jaksa Agung Burhanuddin
JAKARTA- Memasuki
hari ke 5 bulan Ramadhan 1443 Hijriyah, Persatuan Jaksa Indonesia atau dikenal
dengan PJI menggelar acara Mengaji bersama, Kamis ( 7/4/2022 ) yang diikuti
oleh seluruh pengurus dan anggota PJI di Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan
Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.
PJI mengaji dihadiri langsung oleh Jaksa Agung
RI Burhanuddin secara virtual dari Ruang Kerja Jaksa Agung di Gedung Kartika
Adhyaksa dalam, Ketua Umum PJI Amir Yanto, Ulama Nadhatul Ulama (NU) K.H. Ahmad
Muwafiq, dan anggota pengurus PJI di Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan
Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia secara virtual dari ruang kerja
masing masing.
Ngaji
bersama PJI di awali dengan sambutan Jaksa Agung, Burhanuddin menyampaikan
bahwa Puasa Ramadhan bukan sekedar ritual rutin yaitu menahan lapar dan dahaga
sejak terbit fajar hingga matahari di waktu magribb, selama sebulan penuh, akan
tetapi menjalankan ibadah puasa memiliki banyak keutamaan baik untuk diri
sendiri baik bersifat hablum minnannass
(hubungan sesama manusia) maupun hablum
minnallah (hubungan dengan Allah SWT).
“Ibadah
puasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi lahir dan batin. Puasa lahir adalah
puasa dengan standar ilmu fikih (ilmu hukum Islam), sedangkan puasa batin
adalah puasa dengan standar ilmu tasawuf (ilmu rohani Islam),” ujarnya.
Menurut
Jaksa Agung RI, dengan menjalani puasa batin maka puasa itu tidak sekadar
menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu, baik hawa nafsu
yang berasal dari perbuatan mata, mulut, telinga, hati maupun yang berasal
prilaku seluruh jiwa dan raga.
“Yang kita
hindari dalam berpuasa bukan hanya yang haram dan yang syubhat, akan tetapi
juga sikap berlebih-lebihan terhadap suatu hal yang halal. Sebab, inti dari
puasa adalah pengendalian diri. Jika mata tetap tidak terkendali, mulut tak
berhenti menggunjing, telinga nyaman mendengar hal-hal buruk, dan hati terus
tertuju dengan dunia dan melupakan Tuhannya, maka kualitas puasa yang kita
laksanakan, pastilah bukan kualitas puasa seperti yang diharapkan yaitu puasa
yang memenuhi dimensi lahir dan dimensi batin,” katanya.
Jaksa
Agung juga menyampaikan Bulan Ramadhan ini merupakan bulan terbaik untuk
memperbaiki diri dari segala kesalahan. Dengan melaksanakan ibadah puasa
Ramadhan, sudah semestinya sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit-penyakit
hati seperti bergunjing (ghibah),
sikap pamer (riya’), dan perilaku
sombong (takabbur).
“ Di
samping itu, dengan puasa diharapkan muncul sifat-sifat mulia dalam diri kita,
seperti sifat sabar, ikhlas, rendah hati (tawadhu’),
merasa cukup (qona’ah), selalu
bersyukur atas nikmat Allah SWT dan sifat-sifat mulia lainnya.
Apabila
kita renungkan secara lebih mendalam, maka segala pertikaian yang terjadi di
antara anak bangsa, adalah disebabkan masih mendominasinya penyakit hati yang
menuntun ke arah prilaku tidak terpuji bagi segenap anak bangsa. Dengan demikian munculah sikap, saling hujat
dan saling menyerang antar saudara sendiri sesama anak bangsa sebagai akibat
perbedaan pandangan,” imbuhnya.
“ Harus
belajar menghindari pertikaian yang sama sekali tidak produktif, yang hanya
menimbulkan suasana sosial di sekitar kita menjadi tidak harmonis, bahkan dapat
memicu perpecahan persatuan sesama anak bangsa. Artinya, dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, momentum Ramadhan harus bisa memperkuat
kembali semangat kebersamaan dan persatuan bangsa,”
Burhanuddin
juga menyampaikan untuk mendalami nilai-nilai persatuan, penting untuk kembali
meresapi kebhinnekaan yang sudah menjadi karakter bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku, ras, etnis, maupun agama yang berbeda-beda. Bahkan dalam
sejarahnya, sebelum bangsa ini berdiri pada masa kerajaan, masyarakat yang
mendiami wilayah Nusantara sudah terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan
budaya yang beragam.
“ Momentum
bulan suci Ramadan sudah semestinya menjadi pengingat bagi kita untuk menjaga
amanah dari para pendiri bangsa. Sebagai umat Islam sebagai umat mayoritas di
Indonesia, sudah seharusnya kita menunjukan sikap toleransi antar sesama anak
bangsa tanpa harus dipecah dan dipilah berdasarkan ras, suku, warna kulit dan
agama,”
“ Umat
Islam Indonesia sudah semestinya juga, merawat dasar negara Pancasila dan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan yang harus kita jaga bersama
tanpa harus membenturkannya dengan dogma-dogma agama maupun ideologi lainnya,”
jelas Jaksa Agung.
Komitmen
terhadap negara Pancasila dapat dijadikan sebagai sikap keagamaan, yakni sikap
menepati janji dan menjaga amanah.
“ Kita
tahu, dalam Islam, menepati janji merupakan suatu keharusan. Bahkan, sebagian
ulama menyampaikan bahwa janji adalah hutang yang harus dibayar atau ditepati.
Selain itu, janganlah umat islam menjadi umat yang mengingkari janji atau
bahkan berkhianat atas warisan luhur dari para pendiri bangsa. Dan janganlah
umat Islam sekali-sekali berlaku munafik yaitu ingkar janji dan berkhianat
apabila diberikan amanah,” ujarnya.
Jaksa
Agung RI mengajak untuk menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai bulan untuk
berkontemplasi, merenungkan sejarah berdirinya bangsa yang tak lepas dari
konteks kemajemukannya, agar dapat mengesampingkan segala bentuk nafsu dan
sikap yang menggambarkan egoisme dan eksklusivisme yang bisa merusak hubungan
harmonis dengan saudara sebangsa dan setanah air. ( Muzer/ Rls)