Persaja Kejari Jaksel dan STIH Adhyaksa Perkuat Pemahaman KUHP Baru Menuju Implementasi 2026
JAKARTA — Menyongsong implementasi penuh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada tahun 2026, Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan bersama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa menyelenggarakan kegiatan strategis yang memadukan kolaborasi kelembagaan, peningkatan kompetensi, dan penguatan pemahaman hukum bagi para penegak hukum. Kegiatan bertajuk Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Sosialisasi Penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut digelar pada Selasa, 25 November 2025, di Aula Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
![]() |
| Kejari Jakarta Selatan Gelar Sosialisasi KUHP Baru: Kajari Marcelo Tegaskan Pentingnya Kesamaan Langkah Penegak Hukum. |
Acara ini mempertemukan para jaksa, calon jaksa, serta mahasiswa STIH Adhyaksa, dan dipimpin oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Jakarta Selatan yang juga Ketua Persaja Kejari Jaksel, Dr. Eko Budisusanto, S.H., M.H. Dalam sambutannya, Dr. Eko menegaskan bahwa kolaborasi antara lembaga penuntutan dan dunia akademik merupakan kebutuhan mendesak di tengah transformasi besar hukum pidana nasional.
“Kita memasuki era baru hukum pidana. Pemahaman harus dibangun sejak sekarang, bersama-sama, secara ilmiah dan komprehensif,” ujarnya.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sekaligus pembina Persaja Kejari Jaksel, Marcelo Bellah, S.H., M.H., hadir memberikan sambutan pembuka. Kajari Marcelo menekankan bahwa penerapan KUHP baru menuntut kesiapan konseptual dan teknis dari seluruh aparat penegak hukum. Ia menambahkan bahwa perubahan besar dalam hukum pidana tidak akan efektif tanpa pemahaman yang merata dan kesamaan langkah dalam praktik penegakan hukum.
“Transisi ini hanya akan berhasil jika kita bergerak sebagai satu ekosistem: jaksa, akademisi, dan calon penegak hukum masa depan,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi kemitraan Kejari Jaksel dengan STIH Adhyaksa sebagai ruang ideal untuk memperkaya teori, memperdalam praktik, dan memperkuat profesionalitas aparatur penegak hukum.
Usai penandatanganan Nota Kesepahaman terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi, acara dilanjutkan dengan sesi sosialisasi KUHP baru yang disampaikan oleh Dr. Armansyah, S.H., M.H., C.Med., CCL., dosen tetap STIH Adhyaksa sekaligus akademisi berpengalaman di bidang hukum pidana, kenotariatan, dan hukum teknologi informasi. Dengan penyampaian yang sistematis dan mudah dipahami, Dr. Armansyah membuka materi dengan menegaskan urgensi Indonesia meninggalkan KUHP warisan kolonial.
“KUHP lama dibangun dalam semangat kolonial yang tidak lagi sejalan dengan karakter bangsa. Filosofinya retributif—menghukum semata. KUHP baru ingin membawa pendekatan yang lebih manusiawi dan demokratis,” ujarnya dalam paparan Sosialisasi KUHP Nasional.
Dalam penjelasannya, Dr. Armansyah menggambarkan KUHP baru sebagai tonggak penting dalam rekodifikasi hukum pidana Indonesia. KUHP baru tidak hanya memodernisasi aturan, tetapi juga menyatukan berbagai ketentuan pidana di luar KUHP dalam satu sistem yang terintegrasi. Ia menegaskan bahwa sistem pemidanaan kini memadukan nilai pembalasan, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan korban secara seimbang. Orientasi pemidanaan tidak lagi bertumpu pada pemenjaraan, melainkan pada penyelesaian konflik, perlindungan norma hukum, dan pemulihan keseimbangan sosial.
Ketika membahas perubahan yang berpengaruh langsung terhadap tugas penuntut umum, Dr. Armansyah menekankan bahwa KUHP baru memberi ruang lebih luas bagi jaksa untuk menerapkan pidana alternatif seperti kerja sosial, pidana pengawasan, hingga denda berbasis kategori.
“Jaksa harus lebih tajam meneliti karakter pelaku, konteks perbuatan, dan kepentingan korban. Tidak semua perkara harus berakhir di penjara. KUHP baru menuntut kepekaan sosial dari seorang jaksa,” tegasnya.
Pada bagian materi terkait isu moralitas yang sempat memicu polemik publik, Dr. Armansyah memberikan penjelasan terperinci. Ia menegaskan bahwa pasal zina dan kohabitasi bukan alat untuk razia atau kriminalisasi massal.
“Delik ini hanya dapat diproses melalui pengaduan keluarga inti. Aparat tidak dapat melakukan penggerebekan tanpa laporan resmi. Ketentuan ini untuk menjaga institusi keluarga, bukan mencampuri ruang privat masyarakat,” jelasnya.
Ia juga meluruskan persepsi mengenai pasal penghinaan Presiden. Menurutnya, KUHP baru tetap menjamin ruang kritik publik, dan hanya menindak perbuatan yang menyerang martabat pribadi Presiden. Proses hukum pun hanya dapat berjalan jika Presiden sendiri yang mengajukan laporan.
“Kritik tetap dilindungi. Yang dilarang adalah penghinaan yang merusak martabat simbol negara,” ujarnya.
Selain itu, Dr. Armansyah memberi perhatian besar pada perkembangan kejahatan teknologi informasi. KUHP baru kini mengatur akses ilegal, intersepsi ilegal, dan tindak pidana digital lainnya secara lebih komprehensif—perbaikan signifikan dari ketentuan parsial yang sebelumnya hanya tersebar dalam UU ITE. Menurutnya, pembaruan ini menunjukkan bahwa hukum nasional harus responsif terhadap tantangan kejahatan modern di era digital.
Paparan tersebut mencapai titik krusial ketika ia menegaskan peran strategis jaksa dalam KUHP baru. Jaksa kini bukan hanya penerima dan penindak lanjutan berkas perkara, tetapi pengendali proses penuntutan yang memiliki kewenangan substantif dalam menentukan arah penyelesaian perkara. Ini mencakup pemahaman terkait delik aduan, keadilan restoratif, hingga pidana korporasi yang menuntut kemampuan analisis bisnis dan struktur perusahaan. Dalam konteks pidana mati bersyarat, peran jaksa juga semakin kuat sebagai pihak yang memberikan pertimbangan terhadap kelanjutan hukuman terpidana.
Suasana diskusi berlangsung dinamis dan interaktif. Para jaksa muda serta mahasiswa dengan antusias mengajukan pertanyaan seputar pedoman pemidanaan, mekanisme restorative justice, hingga tantangan teknis dalam implementasi KUHP baru. Antusiasme tersebut menunjukkan kesiapan dan semangat generasi baru penegak hukum untuk memahami perubahan besar dalam sistem pemidanaan nasional.
Melalui kegiatan ini, Persaja Kejari Jakarta Selatan bersama STIH Adhyaksa menegaskan komitmen bersama untuk mengawal transisi KUHP baru menuju 2026 secara matang, terarah, dan berkesinambungan. Langkah ini menjadi bagian penting dari upaya mewujudkan sistem hukum pidana Indonesia yang lebih modern, berkeadilan, dan berkeadaban. (Tim/Muzer)

