Adhyaksa Foto Indonesia

JAM-Pidum Setujui 6 Perkara Diselesaikan Melalui Restorative Justice, Termasuk Kasus Penggelapan di Malinau

 

Prof. Dr. Asep Nana Mulyana


JAKARTA– Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu (20/7/2025). Dalam kesempatan tersebut, sebanyak enam perkara disetujui untuk dihentikan penuntutannya, salah satunya perkara penggelapan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Kasus Penggelapan di Malinau

Perkara tersebut melibatkan Tersangka Andre Yudi Panggabean, karyawan Koperasi Purba Jaya Mandiri. Ia diduga melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan atau subsidair Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

Kasus bermula saat tersangka tidak menyetorkan hasil penagihan angsuran nasabah sebesar Rp21 juta pada November 2024, melainkan menggunakan uang tersebut untuk membiayai kuliah adiknya dan kebutuhan keluarga di kampung.

Proses perdamaian antara tersangka dan korban difasilitasi Kejari Malinau pada 21 Juli 2025. Tersangka mengembalikan kerugian penuh dan korban telah memaafkan perbuatannya. Atas dasar itu, permohonan penghentian penuntutan diajukan ke Kajati Kalimantan Utara, I Made Sudarmawan, S.H., M.H., dan disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose.

Lima Perkara Lain yang Disetujui

Selain kasus di Malinau, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian lima perkara lainnya melalui keadilan restoratif, yakni:

1.      Panca Noka Panjaitan alias Panca (Kejari Tanjung Balai) – Penganiayaan (Pasal 351 Ayat (1) KUHP).

2.      Rizal alias Ijal (Kejari Tanjung Balai) – Pengancaman (Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP).

3.      Junaidi bin Syukri (Kejari Aceh Timur) – Penadahan (Pasal 480 ke-1 KUHP).

4.      Samser alias Heri bin Alm. Kamaruddin (Kejari Aceh Timur) – Penadahan (Pasal 480 ke-1 KUHP).

5.      Zulmahdi bin M. Daud dan Faudan M. Aziz (Kejari Bireuen) – Penganiayaan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pertimbangan Restorative Justice

Penghentian penuntutan ini diberikan dengan mempertimbangkan antara lain:

  • Tersangka dan korban sepakat berdamai;
  • Tersangka mengakui kesalahan dan korban memberikan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  • Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa paksaan;
  • Pertimbangan sosiologis serta respons positif masyarakat.

JAM-Pidum menegaskan, para Kepala Kejaksaan Negeri diminta segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan SE JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022.

“Penyelesaian melalui Restorative Justice adalah perwujudan kepastian hukum yang berorientasi pada kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat,” pungkas Prof. Asep Nana Mulyana. (Muzer)

 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال