.jpeg)
Jaksa Agung RI, Burhanuddin
JAKARTA- Jaksa Agung ST
Burhanuddin menyampaikan dalam
kesempatan yang penuh suka cita ini, atas nama pribadi maupun pimpinan
Kejaksaan Republik Indonesia mengucapkan selamat atas Pengukuhan Profesor Kehormatan Universitas Pendidikan
Indonesia Bidang Ilmu Hukum, Prof. (H.C.) Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum. dengan pidato ilmiah yang bertemakan “Rancang Bangun
Model Integratif Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Korporasi Dan
Bisnis”. Jaksa Agung mengatakan, tema
yang diangkat tersebut menurutnya sangat relevan dengan dinamika perkembangan
hukum di Indonesia dewasa ini.
.jpeg)
Demikian
disampaikan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menghadiri pengukuhan Profesor
Kehormatan Kajati Jawa Barat Asep N Mulyana pada Jumat 19 Agustus 2022 di
Gedung Ahmad Sanusi Universitas Pendidikan Indonesia.
“ Sebagaimana dalam paparan pidato ilmiah yang disampaikan oleh Prof. (H.C.) Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum., menurut hemat kami berkaitan dengan model penegakan hukum integral sebagai salah satu alternatif dalam pertanggungjawaban pidana korporasi,” ujar Burhanuddin.
Pendekatan penegakan
hukum integral,
menurut Barda Nawawi Arief,
adalah berpikir “dalam bagian atau sebagai bagian dari keseluruhan”, berarti juga, berpikir
secara menyeluruh, tidak melihat sesuatu secara terpisah atau parsial dari
kesatuan yang berkesinambungan. Jadi dapat juga dikatakan bahwa pendekatan
penegakan hukum integral adalah penegakan hukum yang didasari oleh pemikiran berkeseimbangan atas
semua elemen yang berpengaruh dalam proses maupun hasil penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum. Artinya, aparat penegak hukum dalam
proses penegakan hukum diharapkan mampu melihat, memahami, dan menganalisis semua objek atau
fenomena yang
mempengaruhi penegakan hukum secara menyeluruh dan kontekstual, dalam satu
kesatuan integral yang lebih besar.
“Untuk itu, dalam rangka penanggulangan kejahatan korporasi melalui pendekatan penegakan hukum integral dapat dipahami sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, yang meliputi evaluasi terhadap struktur, substansi, dan budaya hukum guna mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu tercapainya suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin melalui rilis yang disiarkan secara resmi oleh Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Jumat ( 19/8/2022 ).
Jaksa Agung mengatakan, konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam penegakan
hukum integral harus
dilakukan dengan memenuhi nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut masyarakat
agar memenuhi rasa keadilan. John
Rawls menyatakan keadilan merupakan suatu hal yang paling mendasar yang harus
ada dalam institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran dalam sistem
pemikiran. Hukum dan institusi adalah
untuk manusia, apabila hukum itu tidak memiliki nilai keadilan yang dirasakan oleh masyarakat maka hukum itu perlu dirombak atau bahkan dihapuskan.
Keadilan sebagai kebajikan utama umat
manusia, mengharuskan
terciptanya kebenaran dan keadilan di
dalam masyarakat, dan upaya manusia tersebut tidak bisa diganggu gugat.
Jaksa Agung melanjutkan, keadilan pada
dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama dalam memaknai keadilan. Adil menurut seseorang belum tentu adil bagi seseorang lainnya. Ketika seseorang menyatakan bahwa ia berlaku adil, maka keadilan yang diciptakan tersebut
haruslah relevan dengan
ketertiban umum dimana nilai
keadilan tersebut diakui oleh masyarakat. Nilai keadilan sangat
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap nilai keadilan
didefinisikan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat
tersebut. Dikarenakan
sifatnya yang relatif
tersebut, maka definisi keadilan hingga
saat ini masih beragam,
dimana para ahli ilmu hukum,
memiliki pandangan dan pendapatnya masing-masing.
Jaksa Agung menjelaskan bahwa teori
keadilan dalam ranah hukum pidana mengalami perubahan paradigma yang
dimulai di Eropa Barat sejak tahun 1990 yang mencoba mengubah paradigma hukum
pidana dari keadilan retributif yang berorientasi pada pembalasan menjadi
keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, keadilan restoratif, dan menuju
keadilan transformatif.
“Perkembangan dalam penegakan hukum dengan menggunakan
pendekatan keadilan restoratif kerap disamakan dengan keadilan transformatif,
bahkan M. Kay Harris menyamakan
antara keadilan restoratif dan keadilan transformatif dengan mengatakan, “keadilan
restoratif dan keadilan transformatif merupakan satu hal dengan dua nama, dan
perlu dipahami bahwa penyebutan istilah antara keduanya dapat saling digunakan”, bahkan beberapa
praktisi menyatakan bahwa istilah yang lebih tepat dalam penggunaan definisi
untuk keadilan restoratif adalah keadilan transformatif,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, tidaklah mengherankan jika
praktisi hukum menyamakan antara keduanya, karena memang terdapat beberapa
persamaan antara keadilan restoratif dan keadilan transformatif, yaitu sebagai
suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu konflik. Selain itu
persamaan lain antara keduanya yaitu sama-sama didasarkan pada keterlibatan
masyarakat dan pertanggungjawaban pelaku dan penghindaran terhadap praktik
retributif seperti penjatuhan pidana penjara. Lebih jauh dari itu, keadilan
transformatif berupaya mentransformasi
masyarakat demi mencapai masa depan yang lebih baik dan memastikan tindakan
serupa tidak terulang lagi.
Di
samping persamaan-persamaan tersebut, terdapat pula perbedaan antara
keadilan restoratif dan keadilan transformatif. Berbeda dengan cakupan keadilan
restoratif yang mengedepankan kepentingan korban tindak pidana dan mengejar
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana terhadap korban dalam suatu konsensus
penyelesaian perkara, keadilan transformatif ini memiliki cakupan yang lebih
luas karena dapat diterapkan dalam penegakan hukum korporasi, hukum lingkungan,
hubungan industrial, dan lainnya.
“Hal ini dikarenakan keadilan transformatif menggunakan
sistem pendekatan yang mencari titik awal atau akar penyebab timbulnya suatu
permasalahan, bukan dimulai pada saat tindak pidana dilakukan oleh pelakunya,
dan menjadikan suatu pelanggaran sebagai kesempatan relasional dan pendidikan
transformatif bagi korban, pelaku dan semua anggota lain dari masyarakat yang
terkena dampak. Secara teori,
model keadilan transformatif yaitu menemukan penyebab permasalahan, kemudian
mencari metode pemecahan yang akan dijadikan aturan baku dalam penyelesaian
permasalahan tersebut di kemudian hari, dari hal tersebut diharapkan akan
terjadi perubahan sosial yang lebih baik dalam masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menjelaskan, melalui pendekatan
baru berbasis keadilan transformatif tersebut, maka tidak saja dapat mengurangi
masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari pendekatan berbasis represif
positivis seperti over kapasitas Lembaga Pemasyarakatan, maupun adanya putusan
yang dirasa tidak memenuhi keadilan dalam masyarakat. Namun lebih dari itu,
dengan penegakan hukum berbasis keadilan transformatif, maka keadilan yang
dicapai juga terkandung nilai-nilai keadilan yang lainnya, seperti keadilan
restitutif, distributif, kumutatif, rehabilitatif, restoratif serta berorientasi pada
akar masalah penyebab terjadinya kejahatan sehingga dapat mencegah kejahatan
tersebut terulang kembali di masa yang akan datang.
Berbicara mengenai “konsep keadilan” tidak
dapat dipungkiri memiliki beragam pandangan. Dalam pandangan hukum Islam
misalnya, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya, dan sah atau batalnya
suatu pelaksanaan hukum.
Dalam Al-qur’an banyak ayat yang memerintahkan manusia
untuk berlaku adil, antara lain dalam surat An-Nahl Ayat Ke-90
yang berbunyi “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.
Berkaitan dengan konsep
keadilan dalam Islam, Jaksa Agung menyampaikan bahwa Abu Hurairah mengatakan
dalam satu riwayatnya, bahwa para sahabat bertanya, wahai Rasul apa haknya
tetangga itu? Rasul menjawab jika ia mengundangmu datangilah, jika ia minta
tolong berikanlah pertolongan, jangan engkau
sakiti tetanggamu dengan bau masakan dari kualimu, kecuali kamu akan memberikan
makanan itu kepada tetangga. (HR. Al-Dzahabi).
Berdasarkan uraian
tersebut, konsep keadilan menurut hukum Islam, adalah lebih kepada
menciptakan suatu kondisi harmonis dalam hubungan kepentingan antar individu
sehingga mewujudkan setiap perbuatan seseorang berkonsekuensi logis untuk
menciptakan keadilan bagi orang lain. Seseorang yang sedang memasak makanan
misalnya, dan bau masakan tercium tetangganya, maka seseorang tersebut wajib
membagikan sebagian masakan kepada tetangganya tersebut.
“Maka dari itu, menurut hemat
kami, kondisi saling menerima dan saling membahagiakan antar individu di
masyarakat adalah bentuk keadilan tertinggi. Setiap
manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
yang dapat
diterapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat
bahkan hingga lingkup terkecil yaitu kehidupan bertetangga. Itulah, yang
menurut saya sebagai makna dari hakikat keadilan transformatif,” ujar Jaksa
Agung.
Berangkat dari pandangan tentang teori keadilan, Jaksa Agung meyakini bahwa hakikat
keadilan adalah kejujuran atau sifat
ikhlas menerima sesuatu dalam setiap konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Dengan kata lain, keadilan transformatif adalah ketika semua pihak
dengan ikhlas menerima segala sesuatu hasil dari kebijakan atau proses
penegakan hukum itu sendiri. Hal ini dapat berupa, kesepakatan, perjanjian, atau
putusan pengadilan, dan lain sebagainya sehingga keadilan dapat
dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat sesuai dengan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat.
Dengan demikian, konsepsi keadilan tersebut
sejalan dengan pandangan John Rawls
bahwa keadilan bersifat relatif dan tidak dapat digeneralisasikan. Karena setiap
orang memiliki ide kebajikannya sendiri dan rasa keadilannya sendiri. Keadilan
harus ditetapkan dan ditentukan sepenuhnya
oleh para pihak sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Oleh karena
itu, dalam penegakan hukum, baik dalam proses litigasi atau non
litigasi, semestinya lebih
tepat apabila dalam penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan keadilan
masing-masing pihak yang berperkara maupun pemangku kepentingan terkait, baik
dalam hal memilih prosedur, menawarkan prinsip atau argumen, merumuskan proposal, dan
menyelesaikan kasus itu sendiri. ( Muzer )