![]() |
Foto: Kejati Jateng |
SEMARANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menetapkan empat
orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian
fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Nilai kerugian
negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp81,3 miliar.
Tiga dari empat tersangka telah
resmi ditahan dan dititipkan di Rumah Tahanan Kelas I Semarang pada Senin
(14/7/2025) sore. Mereka adalah DSD, mantan Kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis
II LPEI periode 2013–2019; JAS, mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta
periode 2014–2018; serta HP, Direktur PT Kemilau Harapan Prima (KHP).
Sementara itu, satu tersangka
lainnya, DS, yang menjabat sebagai Relationship Manager Unit Bisnis LPEI Kanwil
Surakarta periode 2014–2017, belum menjalani pemeriksaan karena mengajukan
penundaan.
Asisten Tindak Pidana Khusus
(Aspidsus) Kejati Jawa Tengah, Dr. Lukas Alexander Sinuraya, mengungkapkan
bahwa ketiganya diduga bersekongkol untuk meloloskan pemberian fasilitas
pembiayaan kepada PT KHP, meskipun perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat
administrasi maupun kelayakan.
“Mereka bersama-sama memuluskan
pengajuan pembiayaan dari PT KHP dengan dokumen yang tidak benar. Akibatnya,
terjadi kredit macet dengan total kerugian negara mencapai Rp81,3 miliar,” ujar
Lukas dalam keterangannya.
Kredit
Fiktif untuk Kepentingan Pribadi
LPEI, atau Indonesia Eximbank,
adalah lembaga keuangan milik negara yang bertugas mendukung pembiayaan ekspor
nasional. Namun, dalam kasus ini, program pembiayaan yang seharusnya digunakan
untuk memperkuat sektor ekspor diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
PT Kemilau Harapan Prima, perusahaan
tekstil berbasis di Sragen, Jawa Tengah, menerima fasilitas pembiayaan dari
LPEI pada periode 2016–2018. Menurut Kejati, permohonan kredit yang diajukan
perusahaan tersebut sejak awal tidak layak secara administratif.
“Dokumen yang digunakan dalam
pengajuan banyak yang tidak sesuai fakta,” ungkap Lukas.
Setelah dana dikucurkan, PT KHP
tidak memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Bahkan setelah diberikan
kelonggaran waktu pelunasan, tidak ada pembayaran yang dilakukan. Dana hasil
pembiayaan justru diduga digunakan untuk kepentingan pribadi oleh HP selaku
direktur utama perusahaan.
Adapun peran para tersangka lainnya
juga dinilai signifikan. DS dan JAS diketahui mengusulkan pemberian fasilitas
kredit, sementara DSD selaku pejabat di kantor pusat LPEI memberikan
persetujuan dengan meloloskan analisa risiko yang tidak akurat.
“Ketiganya tahu bahwa permohonan
kredit tersebut tidak memenuhi syarat, namun tetap menyetujui pencairan dana,”
ujar Lukas.
Para tersangka dijerat dengan Pasal
2 ayat (1) juncto Pasal 18 dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kejati Jawa Tengah menegaskan bahwa
proses penyidikan masih terus berjalan, termasuk pemeriksaan ulang terhadap
tersangka DS. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kewenangan di lembaga
keuangan negara akan dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu.(Muzer/Rls)