Jaksa Agung RI, Prof. Dr. Burhanuddin |
JAKARTA-
Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi sebagai bentuk responsivitas Kejaksaan
dalam mengakomodir hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembentukan
aturan ini bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kembali pada keadaan semula dan
memberikan keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban dan kewajiban
pelaku terhadap korban.
“Konsep pemulihan dalam hal ini juga bertujuan memberikan kedamaian yang
sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat. Oleh karena itu,
keadilan yang dilandasi perdamaian pelaku, korban dan masyarakat yang menjadi
moral etik keadilan restoratif, karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan,” ujar Jaksa
Agung Burhanuddin sebagai keynote speaker pada Seminar Nasional dalam rangka
Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 Tahun 2022, Selasa 19 Juli 2022 secara virtual dari
Gedung Menara Kartika, Kejaksaan Agung
Seminar
Nasional dengan topik “Konsolidasi Keadilan Restoratif Indonesia” menghadirkan
narasumber Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana, Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pudjiono, S.H., M.H., Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H.,
Peneliti Kebijakan Publik URS Andreas N. Marbun, S.H., LLM., UNODC Country
Manager Indonesia Office Mr. Collie Brown, Peneliti Pusat Pengembangan Riset
Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H.,
M.H., Ph.D.
Jaksa Agung melanjutkan, dalam aturan
tersebut Kejaksaan mengakomodir nilai dari keadilan restoratif, yaitu proses
pelaksanaan keadilan restoratif yang dilakukan dengan Penuntut Umum selaku
fasilitator yang kompeten dan tidak memihak, berusaha untuk terbuka atau
inklusif, dan kolaboratif dalam mencari jalan tengah penyelesaian perkara yang
membutuhkan partisipasi dari para pihak yang bersengketa, dengan tetap
mengedepankan rasa menghargai dan fokus pada kebutuhan penyelesaian perkara,
khususnya kepentingan korban dan penegasan terhadap kewajiban pelaku.
“Dengan mengakomodir nilai-nilai dasar keadilan restoratif dalam
penyelesaian perkara pidana melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
restoratif oleh Kejaksaan ini diharapkan akan memberikan rasa keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan hukum, yang pada akhirnya diharapkan ke depannya
tindak pidana serupa tidak akan diulangi, secara khusus oleh pelaku, dan secara
umum bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Secara umum dalam aturan tersebut terdapat 3
(tiga) syarat prinsip dan 3 (tiga) syarat tambahan dalam pelaksanaannya, antara
lain:
Syarat utama:
a)
tersangka/pelaku baru pertama melakukan
tindak pidana;
b)
tindak pidana yang dilakukan diancam pidana
denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; dan
c)
kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari
Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Syarat tambahan:
a)
Adanya pemulihan kembali dari pelaku kepada
korban (misalnya penggantian kerugian);
b)
Telah ada kesepakatan damai antara korban dan
pelaku;
c) Masyarakat merespons dengan positif.
Jaksa
Agung mengatakan bahwa konsep keadilan restoratif sebagai alternatif
penyelesaian perkara di luar pengadilan dapat mengembalikan harmoni di
masyarakat dan dapat mengembalikan kepada kondisi sebelum terjadinya kerusakan
yang timbul akibat adanya suatu tindak pidana.
“Dengan demikian, pada dasarnya keadilan restoratif dilakukan melalui
kebijaksanaan dan pengalihan, yaitu pemindahan dari proses penyelesaian perkara
pidana melalui peradilan pidana atau litigasi ke proses penyelesaian perkara
pidana melalui musyawarah atau mediasi. Penyelesaian melalui mediasi bukanlah
hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia dalam menyelesaikan
masalah hukum baik pidana maupun perdata dapat diselesaikan dengan musyawarah,
dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dalam hal
ini, sesungguhnya keadilan yang hendak dicapai adalah hasil gagasan maupun
nilai-nilai leluhur suatu bangsa yang terkandung di dalam falsafah Pancasila,” ujar Jaksa
Agung.
Dikatakan,
Pergeseran paradigma pemidanaan dari pembalasan menjadi
pemulihan dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia, hingga saat ini masih
belum ada keseragaman, karena setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki aturan tersendiri
dalam penerapan keadilan restoratif, padahal dalam penegakan hukum semua sub
sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut memiliki tugas dan fungsinya
masing-masing, yang tujuan utamanya adalah mencapai rasa keadilan dalam
masyarakat.
Lanjut
Jaksa Agung, belum adanya keseragaman mengenai pendekatan
keadilan restoratif oleh sub sistem dalam sistem peradilan pidana pada akhirnya
akan mengesampingkan konsepsi Negara Hukum yang diatur dalam Konstitusi
Indonesia, karena masing-masing institusi memiliki pandangan masing-masing,
padahal konsepsi Negara Hukum mengatur setiap tindakan penyelenggara negara
termasuk aparatur penegak hukum harus berdasarkan hukum positif berlaku di
Indonesia, untuk itu Kejaksaan mendorong terbentuknya payung hukum dalam
pengaturan keadilan restoratif dalam regulasi hukum positif di Indonesia, agar
konsolidasi keadilan restoratif di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
“Pada kesempatan ini, saya menghimbau apalagi pada saat ini sedang berkumpul
para akademisi dan praktisi yang akan berdiskusi terkait konsolidasi
keadilan restoratif di Indonesia, bahwa yang terpenting dalam konsolidasi ini
adalah apakah regulasi keadilan restoratif yang sekarang berlaku telah
mengakomodir nilai-nilai universal dari pendekatan restoratif. Selanjutnya
adalah bagaimana para praktisi dan akademisi dapat menggali nilai-nilai
pendekatan keadilan restoratif yang sesuai dengan kearifan lokal Indonesia, dan
yang terakhir adalah bagaimana upaya mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif
sebagai inti sari nilai kearifan lokal dalam berbagai regulasi tentang keadilan
restoratif di Indonesia,” ujar Jaksa
Agung.
Jaksa Agung ingin mendorong agar sinergitas, kerja sama dan kolaborasi yang baik
antara praktisi dan akademisi semakin ditingkatkan, mengingat stakeholders dalam penegakan hukum dapat menjadi agen
perubahan yang memiliki peran strategis dalam mendorong arah perubahan
pembangunan hukum nasional sebagai pelaksanaan dalam pencapaian Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
“ Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk berkenan tetap menjaga dan
memupuk rasa idealisme dalam pelaksanaan dan konsolidasi keadilan restoratif
yang bernurani berdasarkan kearifan lokal menuju pencapaian keadilan hakiki
yang diharapkan masyarakat.,”
tandasnya. ( Muzer/ Rls )