Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Dr. Jan S. Maringka, SH. MH saat menjadi narasumber dalam Diskusi Nasional Amandemen ke-5 UUD 1945
JAKARTA- Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara hukum, maka dapat dilihat
bahwa konstitusi Indonesia telah mengatur tentang kekuasaan peradilan dalam hal
ini adalah Mahkamah Agung dan kepolisian dalam melaksanakan tugas penegakan
hukum, namun pengaturan tentang Kejaksaan belum ada.
Hal ini disampaikan Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Dr. Jan S. Maringka, SH. MH saat menjadi narasumber dalam Diskusi Nasional Amandemen ke-5 UUD 1945 Kerjasama DPD RI bersama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) berlangsung dari Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Senin ( 13/12/2021 ). Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ir. H. AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Masdar Hilmy, M.A., PhD, dan Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun S.H. M.H. LLM. serta Wakil Dekan Akademik dan Kelembagaan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya Dr. Abdul Chaliq, M. AG.
Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen
menjelaskan Kejaksaan Republik Indonesia telah diatur dalam konstitusi negara
Indonesia dari waktu ke waktu, yaitu di dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
tentang kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan-badan lain kehakiman
menurut undang-undang.
Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan badan-badan lain ialah termasuk Kejaksaan RI. Dalam ruang lingkup
kekuasaan kehakiman tidak hanya mengadili, namun ada proses penegakan hukum
yang lebih luas daripada mengadili saja, seperti proses awal dari penyidikan,
penuntutan, penangkapan, penahanan dan segala kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan kewenangan yang telah diatur tentang kekuasaan badan-badan peradilan.
Selanjutnya didalam Konstitusi RIS
“kewenangan Jaksa Agung telah diatur dalam pasal 91 dan 156-158” selain dari
pada itu telah di atur pula didalam UUDS 1950 dalam pasal 61-106. Namun Ketika
dikeluarkannya Dekrit Presiden, maka ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam
Konstitusi RIS dan UUDS 1950 tidak berlaku dan Kembali ke Undang-Undang Dasar
1945.
Pada masa Demokrasi Terpimpin,
melalui Keputusan Presiden No. 204 tahun 1960 dibentuklah Departemen Kejaksaan
berada di bawah Pimpinan Menteri atau Jaksa Agung. Selanjutnya didalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan, “Kejaksaan
Adalah Alat Negara Penegak Hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum”. Namun pada tahun 1991 adanya pergeseran
definisi dari Kejaksaan yang tercantum didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991
tentang kejaksaan yaitu “Kejaksaan Adalah Lembaga Pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan”.
Pada masa reformasi, bahwa telah
adanya proses memisahkan dikotomi sipil dan dikotomi militer yang dimana
mengeluarkan Kepolisian dari TNI sehingga didalam Amandemen UUD 1945 telah
masuknya tentang Badan Peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung, Kepolisian
bahkan dibentuk pula badan-badan peradilan lainnya yaitu Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa seolah-olah yang
melaksanakan Proses Penegakan Hukum hanya Hakim, padahal dengan mengacu didalam
sistem Peradilan Pidana, adanya tahapan penuntutan diharuskan dilakukan oleh
Kejaksaan, hal ini sejalan dengan Asas “Single Prosecution System”.
“ Berdasarkan hal ini dan berbicara
tentang Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 diharapkan adanya
penguatan-penguatan Kedudukan Kejaksaan didalam sistem ketatanegaraan kita,
berfungsi untuk menjaga Jaksa Agung supaya Independen dipandang penting dalam
menguatkan untuk menjamin pelaksanaan fungsi penuntutan yang mandiri,
professional sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan penegakan
hukum yang efektif,” ujar mantan Kajati Sulsel.
“Kami sangat mendukung adanya
reformasi penegakan hukum, namun, Kejaksaan jangan ditinggalkan. Ini adalah
kerinduan sebagai warga Adhyaksa sehingga kita bisa melihat kalau sebuah
lembaga yang hanya diatur dalam undang-undang, maka kewenangan dia akan sangat
rentan diuji di dalam Mahkamah Konstitusi. Namun, kalau keberadaan Kejaksaan di
dalam konstitusi, maka mengubah Kejaksaan, perlu melakukan amandemen secara
menyeluruh,” imbuhnya.
Dr. Jan S. Maringka, SH. MH. mengatakan
kerinduan warga Adhyaksa tidaklah berlebihan karena ini memang suatu keharusan
serta yang perlu kita sisipkan apakah itu sebagai bagian dari kekuasaan
peradilan atau dia diatur sebagai rumusan tersendiri, dan karena itu kami harapkan
pengaturan kedudukan Kejaksaan ini sebagai fungsi dan juga menjaga fungsi Jaksa
Agung menjadi independen dipandang penting dalam penguatan peran guna menjamin
pelaksanaan fungsi penuntutan yang mandiri, profesional, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam mewujudkan penegakan hukum yang efektif.
Selanjutnya, Dr. Jan S. Maringka,
mengusulkan pengangkatan hakim masuk dalam Pasal 24 dan pasal mengenai
penuntutan diatur tersendiri. Rumusan dan usulan yang disampaikan adalah
bagaimana isinya adalah kekuasaan negara di bidang penuntutan langsung secara
tegas diselenggarakan oleh Kejaksaan yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung
sebagai penuntut umum tertinggi, sebab jika melihat kutipan ini juga sudah
diatur di dalam undang-undang peradilan militer bahwa Jaksa Agung itu Penuntut
Umum tertinggi, namun dalam undang-undang KPK juga menyatakan ada pengawasan,
dan penuntutan yang dilakukan oleh para komisioner.
“Inilah yang terjadi sehingga
menimbulkan suatu disparitas, dan diharapkan dengan pengaturan secara jelas
maka kedudukan Kejaksaan dalam kekuasaan kehakiman juga merupakan jaminan kemandirian
Kejaksaan dalam konstitusi, kemudian kita juga mewujudkan proses asas single
prosecution system dan kita juga mewujudkan Jaksa Agung sebagai penuntut
umum tertinggi,” ujar Dr. Jan S. Maringka SH. MH.
Mengakhiri pemaparannya, Dr. Jan
S. Maringka, SH. MH. berharap ini menjadi catatan penting dan waktu yang tepat
untuk meningkatkan kembali agar keberadaan Kejaksaan mendapatkan tempat di
dalam perlindungan secara konstitusional.
“Saya mengutip pendapat dari
Sekretaris Jenderal PBB bahwa prinsip negara hukum tidak dapat ditegakkan,
begitu pula pelanggaran HAM tidak dapat diterapkan tanpa hadirnya lembaga
Kejaksaan yang efektif melaksanakan fungsi keadilan secara mandiri,
berintegritas, dan tidak memihak,” ujarnya.
Diskusi Nasional Amandemen ke-5
UUD 1945 Kerjasama DPD RI bersama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
(UINSA) di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan Jakarta dilaksanakan
dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan antara lain dengan menerapkan
3M. (Muzer/ Rls)