Membingkai
Partai Politik Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Oleh : Zulkarnain Baso Hakim
(Siswa PPPJ LXXVI Kelas I / Analis Penuntutan
Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan)
Universitas delinquere non potest (
korporasi tidak dapat dipidana ) karena societas delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan perbuatan pidana). Kedua adagium
tersebut menekankan bahwa korporasi tidak memiliki jiwa dan
organ layaknya manusia untuk melakukan kejahatan. Keberadaan adagium diatas
menunjukan bahwa pada awal perkembangannya, hukum pidana hanya memandang subyek
hukum hanyalah sebatas pada subyek hukum orang/manusia (naturlijk person). Namun dalam perkembangan ilmu hukum pidana selanjutnya,
sudah mulai ada pemikiran visioner para ahli hukum pidana untuk memasukan
korporasi (recht person) sebagai
salah satu subyek hukum pidana.
Ter Heide
dengan karyanya “Vrijheid, overde zin van de straf”, menyatakan “terdapat suatu kecenderungan dimana
hukum pidana semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” oleh Karena hukum pidana telah
terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan hanya
manusia-lah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai subjek hukum sudah
tidak relevan lagi.
Edward
Sutherland, bapak kriminologi yang mengenalkan istilah white collar crime dalam pnadangannya
menguraikan bahwa kejahatan-kejahatan dalam lingkup white collar crime memiliki salah satu karakter yaitu dilakukan
secara berkelompok, lebih dari satu orang bahkan secara teratur dalam suatu
susunan pengurusan organisasi bisnis tertentu. Dalam perjalanan berikutnya,
korporasi sudah mulai dianggap sebagai subyek hukum namun terlebih dahulu
diakui sebagai subyek hukum dalam bidang hukum perdata, yang terbatas pada
korporasi yang berbadan hukum saja. Selanjutnya dalam hukum pidana positif kita,
korporasi sudah mulai masuk sebagai subyek hukum pasca diundangkannya Undang-Undang
Drt No 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi, kemudian dalam Undang-undang
Pemberantasan Tipikor sampai dengan Undang-undang TPPU. Lingkup korporasi dalam
hukum pidana tentunya lebih luas dari lingkup korporasi dalam hukum perdata,
karena dalam hukum pidana subyek hukum korporasi tidak hanya terbatas pada
korporasi yang berbentuk badan hukum saja melainkan juga yang tidak berbadan
hukum.
Dalam melihat pertanggugjawaban pidana korporasi
sebagai subyek hukum pidana tentunya berbeda sudut pandangnya dengan melihat
pertanggungjawaban pidana dari orang/manusia, karena korporasi hanyalah subyek
hukum pidana fiksi yang dilekatkan hak dan kewajiban. Untuk Mengurai aspek
kesalahan koprorasi, dapat menggunakan teori
yang telah dikembangkan para sarjana hukum pidana mulai dari teori identification, agregation, delegation
liability, serta Business Judgement
Rule.
Guna menentukan bagaimana beban
pertanggungjawaban dalam kejahatan korporasi, Prof Muladi menjelaskan ada
3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam
kejahatan korporasi
1. Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab
2. Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab
3. Korporasi
sebagai pembuat sekaligus yang bertanggungjawab
Menurut DR. Asep N Mulyana, ada 3 hal
penting yang harus dilihat guna menentukan dapat tidaknya korporasi dimintai
pertanggungjawaban, yakni:
1.Apakah
korporasi mendapat untung dari hasil kejahatan yang dilakukan pengurusnya.;
2.Apakah
Kejahatan korporasi yang dilakukan masih dalam lingkup jenis/bidang usaha
korporasi;
3.Apakah
orang yang bertindak atas nama korporasi
tersebut memang memiliki kedudukan, kualitas hubungan tertentu dengan korporasi
yang diwakilkan dan resmi bertindak atas “persetujuan korporasi”.
Menurut Prof Nico Keijzer, kurang lebih ada 4 alasan mengapa korporasi dimintai
pertanggungjawaban dan dipidana atas suatu perbuatan, antara lain :
1. Terdapat
tindakan/sikap tidak berbuat (omission)
dari seseorang entah karena suatu hubungan kerja, atau karena hubungan lainnya
yang dilakukan untuk kepentingan koporasi tersebut;
2. Perbuatan
tersebut sesuai dengan aktifitas usaha korporasi tersebut pada umumnya;
3. Perbuatan
tersebut menghasilkan manfaat bagi korporasi dalam usaha/kegiatan yang
dijalankan;
4. Korporasi
berkuasa menentukan apakah perbuatan tersebut akan dilakukan atau tidak atau
perbuatan tersebut telah diterima oleh korporasi termasuk juga tidak melakukan
antisipasi yang sepatutnya dapat diharapkan untuk mencegah terjadinya perbuatan.
Dipidananya korporasi terpisah dari
pemidanaan para pengurusnya sebagai organ korporasi akan memberikan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan hanya memidana
pengurus yang melakukan kejahatan demi keuntungan dari korporasi tersebut.
Pada tahun 2011 muncul desakan agar
partai politik dapat diseret dalam pertanggungjawaban pidana atas tindakan korupsi
yang dilakukan oleh anggota maupun dewan pengurus partai. Hal ini dikarenakan
adanya fakta beberapa kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara yang
fantastis dimana uang hasil korupsi mengalir ke partai politik. Contohnya dalam
fakta persidangan M Nazarudin yang menyebutkan adanya aliran dana hasil korupsi
dalam kegiatan kongres partai Demokrat, dalam kasus korupsi Proyek E-KTP,
dengan tedakwa Setya Novanto yang dalam persidangan mengatakan dana e-KTP juga mengalir
dalam kegiatan Rapimnas Partai Golkar di Bali tahun 2016, dan Dalam kasus
korupsi dengan terdakwa Zumi Zola, JPU mendakwa Gubernur Jambi non aktif, Zumi
Zola mengalirkan uang yang berasal dari gratifikasi ke DPD Partai Amanat
Nasional Kota Jambi. Dalam penindakan kasus korupsi oleh KPK, dari
500 pelaku tindak pidana korupsi, 35% merupakan kader atau pengurus partai
politik. Demikian juga, hasil penelitian PUKAT UGM, bahwa seluruh partai
politik yang memiliki perwakilan sebagai anggota dewan maupun menjabat pada
kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 terlibat dalam tindak pidana
korupsi. pertanyaannya, apakah partai politik dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana ?. jawabannya adalah iya, partai politik dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana karena secara
teori dan yuridis, partai politik masuk dalam lingkup korporasi yang menjadi
subyek hukum pidana. Untuk mendukung hipotesa penulis tersebut, penulis ingin
mengurai beberapa hal sebagai berikut.
Pertama
Undang-undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik pada Pasal 3 mengatur
bahwa partai politik berbentuk badan hukum. DR. Yenti Ganarsih berpandangan,
meskipun sebenarnya esensi dan eksistensi partai politik bukan merupakan sebuah
perusahaan yang menjalankan bisnis / perdagangan, akan tetapi kedudukan partai
politik sebagai suatu Badan Hukum yang kemudian menjadi pemicu hadirnya
pemaknaan partai politik sebagai suatu korporasi . Penulis sependapat dengan
pandangan pakar hukum pidana Trisakti tersebut, bahwa partai politik yang sudah
berbentuk badan hukum masuk dalam defenisi korporasi. Sejatinya tanpa status
badan hukum pun sebuah partai politik sudah masuk defenisi perkumpulan
korporasi non badan badan hukum yang masuk sebagai subyek hukum pidana dalam
Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
Kedua,
partai politik bukan corporate crime,
namun pada beberapa kasus korupsi maupun TPPU ada fakta bahwa partai politik
menerima aliran dana (manfaat) dari kejahatan tersebut, maka menurut penulis
yang terjadi di sini adalah apa yang disebut oleh Steven Box sebagai crime for corporation. Bahwa para
anggota/pengurus partai politik saat melakukan kejahatan, memberikan/mengalirkan
hasil kejahatan ke partai mereka masing-masing, maka partai politik menjadi
pihak penerima manfaat dari hasil kejahatan. Hal ini senada dengan Asep N
Mulyana yang mengatakan salah satu dasar bisa dipidananya korporasi adalah
fakta bahwa adanya manfaat/aliran dana hasil kejahatan yang dilakukan pengurus
kepada korporasi.
Ketiga,
salah satu defenisi kejahatan korporasi sebagai business crime yang bermakna kejahatan korporasi yang dilakukan
haruslah masih dalam lingkup bidang korporasi itu sendiri. Defenisi ini terpenuhi
ketika pengurus partai yang melakukan kejahatan khususnya korupsi ataukah pelanggaran
UU pemilu masihlah dalam lingkup bidang kerja partai politik itu sendiri,
karena berkutat disekitar pusaran kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif
Keempat,
perihal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada partai politik adalah sanksi pidana
non perampasan kemerdekaan/badan. misalkan pidana pokok yang dijatuhkan
terhadap partai politik atau badan hukum yaitu berupa pencabutan izin atau
operasi parpol baik secara temporer atau permanen, perampasan harta kekayaan,
bahkan pembubaran sekalipun
Oleh karena itu , berdasarkan penguraian
diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana karena masuk dalam lingkup subyek hukum korporasi. Namun kenyataanya telah banyak perwakilan partai politik yang menjalani
pertanggungjawaban pidana, tetapi hanya terbatas pada pertanggungjawaban
individu (pengurus partai) padahal, dalam beberapa fakta persidangan adanya
aliran hasil tindak pidana yang dinikmati oleh partai politik.
Sejatinya Permasalahan bukanlah
terletak pada aspek teori partai poltik dapat atau tidak dipertanggungjawabkan,
melainkan terletak pada apakah politik hukum Negara melalui aparat penegak
hukumnya mau dan/atau berani memidana partai politik, terlebih lagi
partai-partai politik penguasa jagat kekuasaan ?. kita lihat saja nanti -
Tags
Badiklat