JAM-Pidum Menyetujui 10 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara KDRT di Merauke

Jampidum Kejaksaan Agung, Prof. Asep N Mulyana
JAKARTA- Jaksa Agung
RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana
Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 10 (sepuluh) dari 11 (sebelas)
permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Selasa, 21
Oktober 2025.
Adapun salah satu
perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Bismar Ronald Simanjuntak dari
Kejaksaan Negeri Merauke, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal
5 huruf a Subsidair Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga .
Kronologi terjadi
pada Senin 16 Desember 2024 sekitar pukul 09.00 WIT di Jl. Raya Mandala,
Kelurahan Muli, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Tersangka Bismar
Ronald Simanjuntak melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, yang dilakukan Tersangka kepada Saksi Fransiska
Sinthia Irene Lelimarna.
Kekerasan bermula
bermula ketika Saksi Fransiska Sinthia Irene Lelimarna yang merupakan istri sah
dari Tersangka sebagaimana Surat Kutipan Akta Perkawinan tertanggal 14 Juni 2012, meminta izin
kepada Tersangka untuk menjemput dan membawa anak-anaknya pergi liburan sekolah
dan tinggal sementara bersama saksi Fransiska di Kota Jayapura dikarenakan Saksi
Fransiska berprofesi sebagai Anggota Kepolisian Daerah Papua.
Namun, Tersangka
menolak keinginan Saksi Fransiska tersebut. Hal tersebut mengakibatkan
perbedaan pendapat dan memicu emosi Tersangka, selanjutnya Tersangka yang
berada di hadapan Saksi Fransiska pada jarak kurang lebih 1 (satu) meter,
menggunakan tangan kanannya dengan sekuat tenaga mendorong Saksi Fransiska pada
bagian dada kanan dan bahu kanan hingga Saksi Fransiska jatuh dan mengenai
kursi, hal tersebut dilihat oleh Anak Saksi Angelina Simanjuntak sehingga secara
spontan langsung memeluk Saksi Fransiska dari belakang sambil menangis.
Saat Saksi
Fransiska kembali berdiri, Tersangka kembali mendorong Saksi Fransiska hingga Saksi
Fransiska keluar dari dalam rumah dan Tersangka mengunci pintu rumah dari dalam.
Akibat dari
perbuatan Tersangka, Saksi Fransiska Sinthia Irene Lelimarna mengalami luka
memar akibat benda tumpul namun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari
sebagaimana dalam Surat Visum Et Repertum UPTD RSUD Merauke Nomor
353/VER/10/2024 tanggal 17 Desember 2024 yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr. Iva Septianingsih selaku dokter pemeriksa.
Mengetahui kasus
posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Sulta D. Sihotang, S.H.,M.H. dan Jaksa
Fasilitator Riski Wulandari, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini
melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses
perdamaian yang dilakukan pada 10 Oktober 2025 lalu, Tersangka mengakui dan
menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi
Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan tanpa
adanya syarat.
Usai tercapainya
kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Merauke mengajukan permohonan
penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan
Tinggi Papua Hendrizal Husin, S.H., M.H.
Setelah
mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua sependapat
untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan
mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose
Restorative Justice yang digelar pada Selasa 21 Oktober 2025.
Selain
itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan
restoratif, terhadap 9 perkara lain yaitu:
1. TersangkaI Berlin Julianto Sihombing dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar 44 Ayat (1)
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
2.
Tersangka Frani Tampi alias Frani anak dari Maxi
Tampi dari Kejaksaan
Negeri Kutai Timur, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3.
Tersangka Edi Suparman bin Wagiman dari Kejaksaan Negeri Musi Rawas, yang disangka melanggar 44 Ayat (1) jo.
Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
4.
Tersangka Ahmad Rifai alias Ahmad bin Rasak dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar, yang disangka melanggar Pasal 335
Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
5.
Tersangka Amril alias Ambi bin Kulla dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar, yang disangka melanggar Pasal 335
Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
6.
Tersangka M. Mansur bin Sahroni dari Kejaksaan Negeri Tapin, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1)
ke-3 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan atau Pasal 362 KUHP
tentang Pencurian.
7.
Tersangka Sudomo alias Domo anak angkat Diono dari Kejaksaan Negeri Landak, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP
tentang Pencurian atau Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan.
8.
Tersangka Herkulanus Aris alias Aris anak dari
Heronimus Heron dari Kejaksaan
Negeri Sekadau, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan
dalam Jabatan dan/atau Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
9.
Tersangka Lira Virna alias Lira binti Eddy
Idwar dari Kejaksaan
Negeri Bangka Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang
Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
·
Telah dilaksanakan proses
perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan
permohonan maaf;
·
Tersangka
belum pernah dihukum;
·
Tersangka
baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
·
Ancaman pidana denda
atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
·
Tersangka
berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
·
Proses perdamaian
dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan,
paksaan, dan intimidasi;
·
Tersangka
dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena
tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
·
Pertimbangan
sosiologis;
·
Masyarakat
merespon positif.
Sementara berkas perkara atas nama Tersangka M. Rifani alias Fani dari Kejaksaan Negeri Tapin, yang disangka melanggar
Pasal 187 Ayat (1) KUHP tentang Kejahatan yang Membahayakan Kepentingan Umum,
tidak dikabulkan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif. Hal ini dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah
dilakukan oleh Tersangka, bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai
Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Para
Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor:
01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,”
pungkas JAM-Pidum. (Muzer)