Alma Wiranta
BOGOR- Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang akan
dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang, berdasarkan data seluruh daerah di
Indonesia yang masa jabatan Kepala daerahnya berakhir yaitu Gubernur, Bupati
maupun Walikota seluruhnya berjumlah 101, termasuk masa jabatan 49 Kepala Daerah
yang terdiri dari 5 Gubernur dan 44 Bupati atau Walikota yang
berakhir pada Mei tahun ini.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru saja mengumumkan
ke publik 5 provinsi yang telah ditunjuk pejabat sementara dan dilantik oleh
Menteri Dalam Negeri, yaitu yakni provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Banten,
Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat pada hari Kamis (12/5/2022).
Masih terdapat 96 pejabat sementara Kepala Daerah yang juga
harus dipersiapkan untuk mengisi kekosongan hukum akibat adanya kebijakan
pemilihan umum serentak tahun 2024, sedangkan secara norma hukum Pemerintah
belum membentuk aturan pelaksana mengenai mekanisme pengisian penjabat calon
sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemahaman terhadap pemilu serentak yang akan dilaksanakan
pada tahun 2024 meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD, DPD
dan Kepala Daerah sebagai pelaksanaan demokrasi langsung yang secara bertahap
pada saat ini sudah mulai dilaksanakan dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 juga mengalami berbagai macam perbaikan dengan adanya keputusan
MK, perubahan kepala daerah definitif yang habis masa jabatannya dengan
penunjukan pejabat sementara harus merujuk pada aturan positif.
Dalam tataran kebijakan tersebut dilevel implementasi,
idealnya penunjukan pejabat sementara yang diharapkan harus mampu untuk
melanjutkan pembangunan daerah tersebut serta harus sejalan dengan aspirasi
masyarakat, perihal ini menjadi pembahasan serius bagi peserta PKA ( Prelatihan
Kepemimpinan Administrator ) LAN (Lembaga Administrasi Negara ) di Jatinangor.
Menanggapi isu kritis terhadap situasi yang berkembang,
Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Alma Wiranta yang tercatat
sebagai peserta PKA – LAN Jatinangor menyatakan tidak semua masyarakat mampu memahami secara politik. " Selain
rendahnya tingkat pendidikan dan belum optimal peran partai politik untuk
menciptakan penafsiran yang sama dengan kebijakan tersebut, serta dikarenakan
dengan telah berakhirnya masa jabatan kepala daerah pada beberapa Provinsi dan
Kabupaten Kota seperti yang sedang terjadi saat ini, maka Pemerintah melalui
Kementerian Dalam Negeri seharusnya telah mendapatkan rekomendasi dari Lembaga
legislatif untuk mempersiapkan sosok penjabat sementara yang ditugaskan di
daerah," ujar Alma kepada media ini, Jumat ( 13/5/2022 ) malam.
Lebih lanjut Alma menjelaskan, "Agar tidak menimbulkan
diskusi berkepanjangan dikarenakan perbedaan penafsiran karena belum ada aturan
yang jelas berupa turunan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana
pada pasal 201 point 9 yang mengatur kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang diisi
oleh penjabat (Pj) sampai terpilihnya kepala daerah dalam Pemilihan Serentak
nasional 2024." imbuhnya.
Pada kenyataannya saat ini tuturnya, bukan hanya adanya
jabatan sementara ketika pejabat definitif dikarenakan masa jabatannya telah
berakhir, tetapi ada juga istlah lain pelaksana tugas maupun pelaksana harian
yang juga harus dipahami sebagai bagian dari pelaksanaan roda kepemimpinan di
daerah melalui peran Kepala Daerah.
Terhadap penafsiran ini juga maka menyebabkan adanya
kesenjangan yang terjadi dimana pejabat sementara tidak dapat melaksanakan
kebijakan pemerintahan secara penuh sedangkan jalannya pemerintahan harus tetap
berjalan sesuai dengan harapan warga masyarakat yang di pimpinnya, adapun
permasalahan umum yang biasanya dihadapi oleh pejabat sementara ini berupa
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang.
Undang-Undang Pilkada tersebut menyatakan bahwa untuk
mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal
dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan dilantiknya Gubernur
definitif.
Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati atau Wali
kota, diangkat penjabat Bupati/Wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan
tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Wali Kota. Masa jabatan
pejabat sementara sampai selesainya masa Kampanye.
Contoh adanya keterbatasan kewenangan pejabat sementara
untuk mengisi kekosongan jabatan di perangkat daerah, sedangkan Kepala Daerah
Definitif diperbolehkan menunjuk dan melantik pejabat paling tidak 6 (enam)
bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Terhadap aturan tersebut kemudian
menimbulkan pro dan kontra. Setiap peraturan pasti memiliki kelebihan dan
kelemahan termasuk peraturan tentang kriteria penunjukan pejabat, terutama jika
dikaitkan dengan penunjukan pejabat sementara itu sendiri yang berperan
sebagaii kepala daerah.
Rumusan yuridis-normatif dengan menggunakan dua pendekatan
yaitu pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan, menghadapkan pada
telaahan, pertama pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang
Pemilihan Kepala Daerah yang menyangkut Cuti Kampanye telah menimbulkan
problematika hukum. Kedua, belum adanya aturan cuti kampanye yang mengharuskan
timbul pejabat sementara Kepala Daerah.
Salah satu kelebihan dari kebijakan yang lahir dari
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai unsur yuridis ialah untuk membatasi kekuasaan kepala daerah
agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, sedangkan salah satu kelemahannya
bahwa kewajiban untuk cuti dapat merugikan hak kepala daerah yang inkamben
untuk bekerja menuntaskan amanah rakyat hasil pemilihan langsung serta
merugikan rakyat pemilih, sedangkan dari aspek sosiologis belum ada penelitian
yang membahas tentang masa jabatannya belum berakhir, padahal ini sangat
merugikan Kepala daerah yang seyogyanya memimpin selama 5 tahun.
Urgensi dari resistensi Pejabat sementara dalam pelaksanaan
Pelayanan Birokrasi Karena keterbatasan Kewenangan Pemilu serentak pada tahun 2024
mendatang diharapkan lebih baik dari tahun 2019, “Kita dapat belajar dari
sebelumnya, untuk dinilai dapat menjadikan penyelenggaraan pemilu lebih efisien
dan menghemat anggaran negara, kita harus menghilangkan stigma pada beberapa
permasalahan, yaitu problematika terkait distribusi Logistik Pemilu, Data
Pemilih, kapasitas dan beban kerja Petugas KPPS yang terlalu tinggi, data hasil
penghitungan suara, serta terjadinya gugatan atas hasil akhir, dan untuk
mempersiapkan Pemilu Serentak tahun 2024 agar sukses salah satunya adanya
mempersiapkan dana pemilu melalui dana cadangan ditiap daerah,” ucapnya.
Pada kenyataannya jelasnya, pada 49 Kepala Daerah yang saat
ini telah habis masa jabatannya dan diganti dengan pejabat sementara justru
telah mencetak 1 permasalahan awal dalam hal kewenangan menyetujui
penganggaran, dikarenakan secara aturan pejabat sementara kepala daerah tidak
bisa memutuskan sendiri kebijakan-kebijakan strategis seperti perubahan
anggaran atau menerbitkan perizinan baru.
Permasalahan ke 2 berarti memperpanjang keputusan dalam
birokrasi yang saat ini harus cepat, dengan kata lain jika salah mengambil
keputusan yang bertentangan dengan aturan akan berhadapan dengan apparat
penegak hukum.
Permasalahan ke 3 sebagai contoh adalah Dirjen Otda yang
menjabat sebagai pejabat sementara Gubernur Sulawesi Barat yang dalam alih
kendali administrasi, peran Dirjen Otda Kemendagri untuk melayani seluruh
wilayah tidak boleh terhambat dikarenakan secara personal merangkap sebagai
pejabat sementara Gubernur Sulawesi barat.
Solusi dari keterbatasan Kewenangan Pejabat Sementara Kepala
Daerah
Solusi yang ditawarkan secara yuridis antara lain merevisi
dan menambahkan aturan dalam UU Pilkada dan UU Pemilu terkait tugas dan
kewenangan pemerintah pusat dan daerah, bukan sebagai alat kendali, bukan
seperti resentralisasi otonom yang keblasan, namun yang paling penting adalah
menyediakan ruang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan daerah termasuk
DPRD untuk memberi masukan mengenai kriteria maupun nama calon penjabat kepala
daerah, artinya harus melibatkan masyarakat atau pelibatan masyarakat setempat.
“ Kedua memberikan opsi pejabat sementara kepala daerah yang
diisi langsung oleh Sekretaris Daerah, dengan demikian tidak mengganggu
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah daerah dan pelayanan public, tetapi
dengan syarat formil bahwa kebijakan anggaran yang berkaitan dengan hal-hal
khusus sebagaimana kedaruratan bencana sebagai biaya tidak terduga dapat
diusulkan juga oleh pejabat sementara kepala daerah, "ungkap Alma yang
merupakan Jaksa pada Kejaksaan Agung alumni Universitas Pertahanan yang saat
ini masih tercatat dan mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan
I Tahun 2022 di LAN Jatinangor. ( Muzer/ Rilis )