![]() |
Prof. Asep N Mulyana |
JAKARTA— Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui
penghentian penuntutan terhadap sepuluh perkara pidana melalui mekanisme keadilan
restoratif (restorative justice). Persetujuan itu diberikan dalam ekspose
virtual yang digelar pada Senin (30/6/2025).
Dari total perkara yang disetujui,
empat di antaranya berasal dari wilayah hukum Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta,
yakni Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan.
Daftar
Perkara yang Dihentikan
Berikut daftar lengkap sepuluh
perkara yang disetujui untuk dihentikan penuntutannya:
1.
Yohanis
Kalfein Masawunu alias Anis – Kejari
Maluku Barat Daya, dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP (penganiayaan).
2.
Ikram alias
Rendi bin Rahman – Kejari Polewali Mandar,
Pasal 351 ayat (1) KUHP.
3.
Rahman Buttu
alias Rahman/Bapak Roni bin Buttu
– Kejari Polewali Mandar, Pasal 351 ayat (1) KUHP.
4.
Klaus
Gregorius Radja – Kejari Sabu Raijua, Pasal
363 ayat (1) ke-3 subsider Pasal 362 KUHP (pencurian).
5.
Refi Andreas
alias Refi bin Asmadi – Kejari Bengkulu Utara,
Pasal 351 ayat (1) KUHP.
6.
Evan
Merdiyansyah alias Evan bin Chandra
– Kejari Bengkulu Utara, Pasal 351 ayat (1) KUHP.
7.
Eko Nursamsi
bin Umun – Kejari Jakarta Barat,
Pasal 351 ayat (1) KUHP.
8.
Rian
Ramadani – Kejari Jakarta Pusat,
Pasal 480 KUHP (penadahan).
9.
Candra Roy
Ichwansyah bin Sudarlan – Kejari
Jakarta Utara, Pasal 362 KUHP (pencurian).
10. Desy Noor Handayani alias Acil – Kejari Jakarta Selatan, Pasal 362 KUHP
(pencurian).
Pertimbangan
Penghentian Penuntutan
Keputusan penghentian penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif ini mempertimbangkan sejumlah syarat yang telah
dipenuhi, di antaranya:
- Telah terjadi perdamaian antara tersangka dan korban, dengan permintaan maaf
dari tersangka yang diterima korban.
- Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
- Tersangka berkomitmen tidak mengulangi
perbuatannya.
- Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, tanpa
tekanan dari pihak mana pun.
- Tersangka dan korban sepakat untuk tidak melanjutkan
perkara ke proses persidangan demi kemanfaatan bersama.
- Terdapat pertimbangan sosiologis dan respons
positif dari masyarakat terhadap pendekatan damai tersebut.
Instruksi
JAM-Pidum
Dalam arahannya, JAM-Pidum Prof.
Asep Nana Mulyana meminta para Kepala Kejaksaan Negeri yang menangani
perkara tersebut untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKP2) berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.
"Langkah ini sesuai dengan Peraturan
Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif, serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022,"
tegas Prof. Asep.
Mendorong
Pemulihan, Bukan Sekadar Penghukuman
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa
penerapan keadilan restoratif merupakan bagian dari komitmen institusi dalam
menghadirkan kepastian hukum yang berkeadilan, berorientasi pada
pemulihan hubungan sosial dan kemanusiaan, bukan sekadar memberikan hukuman
pidana.
Dengan pendekatan ini,
perkara-perkara ringan yang memenuhi syarat dapat diselesaikan tanpa harus
melalui proses peradilan, sehingga memberikan ruang bagi penyelesaian yang
lebih cepat, humanis, dan menyeluruh.