Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana. |
JAKARTA– Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan RI, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui 10 permohonan penghentian penuntutan melalui mekanisme restorative justice dalam ekspose virtual yang digelar Rabu (30/4/2025). Salah satu kasus yang menonjol berasal dari Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi, Sumatera Utara, terkait dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perkara tersebut menjerat Jhony Wijaya Sumbayak, tersangka yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ia diduga melakukan kekerasan fisik terhadap korban Desmon Saragih, yang merupakan anggota keluarganya.
Kronologi kasus bermula pada 14 Oktober 2024 ketika tersangka diduga membenturkan tubuhnya ke arah korban hingga menyebabkan luka terbuka pada bagian bibir. Luka tersebut kemudian dibuktikan melalui hasil visum dari RS Bhayangkara Tebing Tinggi.
Menanggapi dinamika perkara dan hubungan keluarga antara tersangka dan korban, Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi, melalui Kajari Muchsin dan Kasi Pidum Septeddy Endra Wijaya, bersama Jaksa Fasilitator Heppy Kristina Sibarani, memprakarsai penyelesaian perkara ini melalui keadilan restoratif.
“Tersangka mengakui perbuatannya, menyesal, dan meminta maaf. Korban juga memberikan maaf dan meminta agar proses hukum tidak dilanjutkan. Perdamaian dilakukan secara sukarela, tanpa tekanan,” terang JAM-Pidum.
Setelah proses mediasi selesai dan memenuhi seluruh syarat formil dan materil, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyetujui permohonan penghentian penuntutan dan meneruskan kepada JAM-Pidum, yang akhirnya menyetujui kasus tersebut dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.
Selain perkara dari Tebing Tinggi, JAM-Pidum juga menyetujui 9 perkara lainnya, yang tersebar di berbagai wilayah kejaksaan, meliputi dugaan KDRT, penganiayaan, pencurian, penipuan, hingga penadahan. Seluruh perkara tersebut dinilai layak diselesaikan melalui pendekatan restoratif karena memenuhi sejumlah kriteria penting, di antaranya:
• Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan belum pernah dihukum,
• Ancaman pidana tidak melebihi lima tahun,
• Tersangka dan korban telah berdamai secara sukarela,
• Ada pertimbangan sosiologis dan respons positif dari masyarakat.
JAM-Pidum menegaskan bahwa restorative justice bukan bentuk kompromi terhadap pelanggaran hukum, melainkan upaya pemulihan keadilan secara utuh.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri diminta segera menerbitkan SKP2 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) sesuai Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan SE JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022. Ini adalah bagian dari perwujudan kepastian hukum yang berkeadilan dan humanis,” tegas Asep. (Muzer)