Adhyaksa Foto Indonesia

Prof. Widyopramono dan Bekal Dasar Seorang Jaksa: KUHP sebagai Senjata Awal

 

Di tengah riuh wacana KUHP baru, seorang guru besar hukum pidana mengajak para calon jaksa kembali ke akar: memahami KUHP warisan kolonial sebagai fondasi berpikir dan bertindak dalam penegakan hukum.


JAKARTA — Di sebuah ruang kelas di Gedung Satya, Komplek Badiklat Kejaksaan RI, suasana hening namun tegang. Puluhan siswa Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan ke-82 Gelombang II Kelas IV menatap lurus ke depan. Di hadapan mereka berdiri sosok berkacamata dengan suara tenang namun tegas: Prof. Dr. R. Widyopramono, S.H., M.M., M.Hum.


Hari itu, Selasa 1 Juli 2025, Prof. Widyopramono memberikan kuliah bertema “Anotasi Singkat Materi Pokok Tindak Pidana dalam KUHP”. Bukan sekadar ceramah hukum, ini adalah pertemuan seorang pendidik dengan para penerus institusi penegak hukum—sebuah momentum estafet keilmuan dan nilai.

“KUHP adalah senjata awal,” ujarnya mengawali. “Senjata yang wajib dipahami secara mendalam sebelum seorang jaksa turun ke medan perkara.” Ia mengingatkan, sejak diundangkan pada 1946, KUHP yang berisi 569 pasal itu telah menjadi pondasi dalam penanganan perkara pidana di Indonesia. Meski kelak akan digantikan oleh KUHP baru mulai 2 Januari 2026, warisan hukum itu tetap relevan sebagai jembatan pengetahuan.


Sebagai mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, ia tahu persis bahwa kerja jaksa tak hanya soal dakwaan. “Jaksa adalah figur kunci dari hulu ke hilir: dari penyidikan, penuntutan, pembuktian di pengadilan, hingga eksekusi,” katanya. Karena itu, seorang jaksa, menurut dia, tak cukup hanya pintar hukum. Mereka harus berkarakter.

“Profesional, berintegritas, disiplin, berdedikasi tinggi, dan tetap humanis,” katanya sambil menatap para siswa. “Karena tugas jaksa bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga menjaga nurani publik.”


Salah satu aspek penting yang ia tekankan adalah kemampuan memahami secara cermat unsur objektif dan subjektif dalam tindak pidana. Sebab di sinilah kerap terjadi titik rawan dalam penetapan tersangka. Ia menyitir pentingnya kehati-hatian menjelang implementasi KUHP baru berdasarkan UU No. 11 Tahun 2023. “Kesalahan dalam memahami bisa berakibat pada salah tangkap, dan itu tidak hanya melukai hukum, tapi juga keadilan,” tegasnya.

Lebih dari Jaksa, Seorang Pemikir Hukum

Prof. Widyopramono bukan hanya dikenal sebagai penegak hukum, tetapi juga pemikir hukum. Pria kelahiran 7 Agustus 1957 ini juga menjadi dosen diberbagai Universitas ternama di Indonesia, dengan karier panjang di Kejaksaan. Ia pernah menjabat sebagai JAM Pidsus (2013–2015), lalu JAM Was (2015–2017), serta sebelumnya memimpin Kejaksaan Tinggi Papua dan Jawa Tengah.


Tegas dalam prinsip, lembut dalam pendekatan, demikian gambaran rekan-rekannya tentang dia. Sebagai Widyaiswara Badiklat Kejaksaan, ia kini mencurahkan waktunya untuk mendidik generasi baru jaksa agar tidak hanya cakap hukum, tapi juga peka pada nilai.

Ia juga aktif menulis. Bukunya Melawan Korupsi Tanpa Gaduh menjadi refleksi penting atas pendekatan penegakan hukum yang substansial tanpa kegaduhan publik. Ada juga Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya, Tindak Pidana Hak Cipta, serta Kejahatan di Bidang Komputer—buku visioner yang terbit jauh sebelum isu siber menjadi wacana umum.


Kini, di usianya yang ke-68, Prof. Widyopramono tetap hadir di tengah ruang kelas. Bukan lagi sebagai penuntut di ruang sidang, melainkan sebagai penuntun arah di ruang belajar.

“Jaksa yang baik,” katanya di akhir sesi, “bukan hanya tahu apa yang harus dilakukan, tapi mengerti mengapa ia harus melakukannya.” (Muzer)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال