Adhyaksa Foto Indonesia

Pakar Hukum Nilai Putusan Perdata MT Arman 114 Jadi Preseden Buruk Penegakan Hukum

Foto: Penkum Kejati Kepri


TANJUNGPINANG– Putusan perdata Pengadilan Negeri (PN) Batam yang mengabulkan gugatan Ocean Mark Shipping Inc (OMS) atas kapal MT Arman 114 menuai sorotan tajam. Pakar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai putusan tersebut berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.

Gugatan perdata yang didaftarkan OMS pada 26 Agustus 2024 dengan nomor perkara 323/Pdt.G/2024/PN Btm itu dinyatakan dikabulkan pada 2 Juni 2025. Padahal, dalam perkara pidana sebelumnya dengan nomor 941/Pid.Sus/2023/PN Btm, kapal MT Arman 114 beserta muatannya berupa 166.975,36 metrik ton light crude oil telah dirampas untuk negara dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

"Ini mengkhawatirkan. Dua majelis hakim di pengadilan yang sama bisa membuat putusan yang bertolak belakang hanya dalam waktu berdekatan. Ini menciptakan ketidakpastian hukum," ujar Pohan dalam rilis yang siarkan Penkum Kejati, Sabtu (7/6/2025).


Menurut Pohan, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding perdata. Oleh karena itu, koreksi terhadap putusan pidana seharusnya ditempuh melalui mekanisme pidana, bukan dengan gugatan perdata.

 "Kalau hal ini dibiarkan, akan terbuka ruang manipulasi putusan pidana lewat jalur perdata. Ini tidak sehat bagi sistem peradilan kita," ujarnya.

Barang Bukti Tak Bisa Dijadikan Objek Sengketa Perdata

Pohan menjelaskan bahwa barang sitaan dalam perkara pidana—seperti kapal MT Arman 114—adalah bagian dari alat bukti, bukan objek yang bisa disengketakan dalam ranah perdata.

"Kalau misalnya harta saya disita dalam perkara pidana korupsi, saya tidak akan menggugat secara perdata. Saya harus membuktikan dalam ranah pidana bahwa saya tidak bersalah," katanya.

Ia juga menyoroti kemungkinan tanggung jawab korporasi dalam perkara ini, merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Muatan minyak mentah itu bukan milik individu. Kalau Ocean Mark Shipping Inc diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran laut," tegas Pohan.


Kritik Terhadap Integritas Hakim

Pohan pun menanggapi kekhawatiran publik terkait integritas hakim dalam perkara ini. Ia menekankan bahwa hakim tidak kebal kritik.

"Jika ada indikasi putusan dipengaruhi oleh kepentingan eksternal, maka harus segera dilaporkan ke Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung. Sistem pengawasan terhadap hakim penting demi menjaga marwah peradilan," ujar dia.

Ia mendorong aparat penegak hukum untuk proaktif dalam menangani perkara-perkara menyangkut kepentingan publik. "Jangan menunggu laporan. Jika ada indikasi pelanggaran hukum, penyidik seharusnya sudah bisa mulai bergerak," tambahnya.

Kejati Kepri Ajukan Banding

Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) telah mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan PN Batam tersebut. Kepala Kejati Kepri, Teguh Subroto, menilai putusan hakim keliru dalam menerapkan hukum.

 “Hakim telah keliru, khilaf, dan salah dalam menerapkan suatu hukum. Putusan ini mencederai rasa keadilan. Karena itu, kami menyatakan banding pada tanggal 4 Juni 2025 dan meyakini bahwa hukum dan keadilan akan dikoreksi di tingkat pengadilan tinggi,” kata Teguh.

Kejati Kepri berharap majelis hakim di tingkat banding dapat menempatkan supremasi hukum sebagai panglima dan membatalkan putusan PN Batam yang dianggap menciderai integritas sistem peradilan.(Muzer/Rls)


Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال