![]() |
Wakil Jaksa Agung RI,Dr.Arminsyah menjadi pembicara dalam Talk Shaow Alumni FH Unair di Surabaya,Sabtu ( 16/2/19 ) |
SURABAYA-Kejaksaan Republik Indonesia adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai lembaga
dalam pengertian wadah atau organisasi dikenal doktrin “Kejaksaan adalah satu dan tidak terbagi (een
en ondel baar heid).
Arminsyah
menyatakan,seperti yang dikatakan oleh pakar pidana Prof.Andi Hamzah,Belanda
sendiri baru pada tanggal 18 April 1827 ketika berlakunya Rechterlijke
Organisatie en het bleid der Justitie, diadakan lembaga penuntut umum yang
berdiri sendiri mengikuti sistem perancis. Suatu asas yang terpenting dari
penuntut umum yang berdiri sendiri.
“Bahwa
penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeel baar heid), dan
bergantung pada kekuasaan eksekutif,” kata Wakil Jaksa Agung Arminsyah dengan topik
“Arah Kebijakan Kejaksaan Dalam Integrated Criminal Justice Mendatang”
Selain itu
tambahnya, Kejaksaan sebagai lembaga dalam pengertian proses dikenal asas atau
doktrin oportunitas dan dominus litis.
A.Z Abidin Farid memberikan rumusan tentang asas oportunitas sebagai
asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau
tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.
” Dalam
perkembangannya dewasa ini, Belanda semakin luas menerapkan asas ini, mereka
mengartikan asas oportunitas”
“penuntut
umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau
tanpa syarat” (The publilc prosecutor may decide conditionally or
unconditionally to take a prosecution to court or not). Kedudukan penuntut umum
(Officer van Justitie) di sana sangat kuat, sehingga sering disebut sebagai
semi judge (setengah hakim), karena kebebasannya secara individu untuk menuntut
atau tidak menuntut.
Ditegaskan,Indonesia
juga menganut asas oportunitas, akan tetapi penerapannya sangat sempit,
perwujudan asas ini dalam sistem hukum Indonesia dimuat dalam Pasal 35 huruf c
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., yang berbunyi Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan
umum.
“Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari
badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut,”
kata Pelindung PJI di hadapan alumni fakultas Hukum Unair.
Selain itu, doktrin
dominus litis juga dikenal dalam pemahaman bahwa wewenang penuntutan dipegang
oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh
melakukan itu.
“ Berbeda
dengan doktrin een en oldelbaar atau kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan
yang melekat pada organisasi kejaksaan,akan tetapi doktrin dominus litis adalah
melekat pada penuntut umum,” tegas Arminsyah.
Oleh karena
itu,jelas Arminsyah,Doktrin dominus litis dalam perjalanannya mengalami pasang
surut dalam pengaturannya. Pada masa
kemerdekaan, di tahun 1947 terbit Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1947 tentang
Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang mengatur
bahwa di samping Mahkamah Agung, ada
Kejaksaan Agung yang terdiri dari seorang Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Tinggi
yang kesemuanya itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung
mempunyai tugas mengawasi kelakuan dan perbuatan dari para Jaksa dan Polisi
dalam menjalankan pengusutan atas kejahatan dan pelanggaran. Selain itu, Jaksa Agung
juga berkewajiban memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat kepada
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan akan berlakunya peradilan dengan seksama
dan sejogya. Selanjutnya Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1947 diubah dengan Undang-Undang No 19 Tahun 1948
tentang Susunan dan Kedudukan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
“ Tradisi
Jaksa/Penuntut Umum sebagai dominus litis masih dipertahankan pada masa
berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, yang secara
tegas menyebutkan bahwa Jaksa Agung adalah Penuntut Umum tertinggi dan untuk
kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan Jaksa-Jaksa lainnya dalam
lingkungan daerah hukumnya memberi petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan
mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan heirarki,” bebernya.
Diterangkan,dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (2) ditegaskan bahwa Jaksa yang menurut undang-undang
harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan penyidikan perkara ini maka
sudah sewajarnyalah bahwa Jaksa dibebani pengawasan dan koordinasi alat-alat
penyidik demi kepentingan orang-orang yang kena perkara.
Dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pun masih menganut
sistem penuntut umum tunggal (single prosecution system) yang dilakukan oleh
Jaksa (pasal 13 dan 15 KUHAP)
“Namun,
kedudukan Jaksa/Penuntut Umum sebagai dominus litis semakin memudar karena
Jaksa/Penuntut Umum tidak lagi mempunyai daya kontrol yang kuat terhadap
tindakan penyidikan,” terangnya.
Hal tersebut
sejalan dengan konsep KUHAP yang menganut differensiasi fungsional, yang
dimaknai sebagai bentuk penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran
aparat penegak hukum secara instansional, namun tetap terbina saling korelasi
dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan
berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain mulai dari proses
penyidikan sampai dengan eksekusi.
Pergeseran
doktrin dominus litis pun terjadi dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1991 tentang Kejaksaan, dimana rumusan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum
Tertingggi dan pengawasan terhadap alat-alat penyidikan tidak ditemukan lagi
dalam undang-undang tersebut. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan hanya merumuskan dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa Jaksa Agung adalah
pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan
tugas dan wewenang kejaksaan.
Rumusan tersebut diberikan penjelasan bahwa
mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan
yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, maka Jaksa Agung
adalah juga pimpinan dan penanggungjawab tertinggi dalam bidang penuntutan.
Ketentuan pasal tersebut persis sama yang
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Namun demikian dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., sedikit lebih maju dengan ditambahnya kewenangan
pada Pasal 30 ayat (1) huruf d yakni di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang. ( Muzer )
Tags
Kejagung