Adhyaksa Foto Indonesia

Opini- JAMPIDMIL: LANGKAH STRATEGIS DALAM MEWUJUDKAN SINGLE PROSECUTION SYSTEM DAN PENANGANAN PERKARA KONEKSITAS

 

Oleh    : JEFFERSON HAKIM, S.H.

Salah satu pembahasan menarik dalam tindak pidana yang melibatkan pelaku berstatus militer dan pelaku berstatus sipil adalah ketentuan koneksitas. Ketentuan koneksitas diatur dalam BAB XI, Pasal 89 sampai Pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) serta Pasal 198 sampai Pasal 203 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (“UU Peradilan Militer”).

Menurut Andi Hamzah, koneksitas merupakan suatu sistem peradilan yang mana terdapat penyertaan terhadap pelaku pembuat delik antara orang sipil dan militer. Sedangkan, HM Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib memberikan definisi koneksitas sebagai sistem peradilan yang diberlakukan pada suatu penanganan perkara tindak pidana yang mana terjadi penyertaan atau secara bersama-sama antara orang yang berstatus sipil dengan orang yang berstatus militer sebagai tersangka atau terdakwanya. Jika digali lebih jauh, ketentuan tersebut telah diadopsi dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Lembaga koneksitas diadakan agar pelaku berstatus militer bersama-sama dengan pelaku berstatus sipil yang melakukan tindak pidana dapat diperiksa dan diadili dalam pengadilan yang sama, baik dalam lingkungan peradilan umum maupun lingkungan peradilan militer sesuai dengan titik berat kerugian yang ditimbulkan. Apabila titik berat kerugian berada pada kepentingan umum, maka mereka diadili pada pengadilan dalam kekuasaan peradilan umum. Di sisi lain, dalam hal titik berat kerugian berada pada kepentingan militer, maka mereka diadili pada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Namun dalam praktiknya, meskipun suatu tindak pidana dilakukan secara bersama-sama oleh pelaku berstatus militer dan pelaku berstatus sipil, realita menunjukkan bahwa masing-masing pelaku diperiksa secara terpisah, dimana pelaku berstatus militer disidik, dituntut, dan diadili pada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sedangkan pelaku berstatus sipil disidik, dituntut, dan diadili pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Terhadap hal tersebut, maka proses peradilan pidana tidak berjalan dengan efektif serta berpotensi adanya disparitas pemidanaan.

Salah satu alasan yang menghambat penerapan ketentuan koneksitas adalah terjadinya perubahan ketatanegaraan di Indonesia, dimana saat ini sudah tidak lagi dikenal Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Menteri Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (“JAMPIDMIL”) dibentuk dengan tujuan untuk menata kembali lembaga koneksitas serta penanganan perkara koneksitas. Hal tersebut disampaikan oleh Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Militer Pertama, Laksamana Muda Anwar Saadi pada wawancara CNN Indonesia yang berjudul “Mengenal Lebih Dekat Jaksa Agung Muda Pidana Militer”:

 

…. Ketika terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana lembaga-lembaga yang dulu Mahkamah Agung di bawah Kementerian Kehakiman sudah berubah, ini menjadi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan sehingga proses perkara ini menjadi terpisah baik antara pelaku prajurit TNI di lingkungan peradilan militer di proses sendiri, begitu juga perkara masyarakat sipil diproses sendiri di peradilan umum. Ini [penanganan perkara menjadi] terpisah sehingga asas single prosecution system yang menjadi asas penuntutan tidak berjalan dengan baik. Harapannya ke depan dengan adanya asas single prosecution system terwujud suatu keadilan yang sifatnya prosedural, yaitu sesuai hukum acara, bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak terjadi perbedaan dalam proses penegakan hukum. Kalau yang satu dalam perkara yang sama diadili dalam pengadilan yang berbeda tentunya akan terjadi perbedaan proses hukum.”



Sampai saat ini, JAMPIDMIL bersama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah menangani perkara koneksitas, seperti Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Tabungan Wajib TNI AD (TPW TNI AD) Periode 2013 – 2020 dan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Orbit 123° Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan Tahun 2012 – 2021.


JAMPIDMIL memiliki tantangan dalam menghadapi perkembangan isu hukum terkait koneksitas. Pertama, penentuan kompetensi untuk mengadili koneksitas, khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kedua, menentukan rumusan titik berat kerugian “kepentingan umum” dan “kepentingan militer” dalam koneksitas. Khusus untuk permasalahan kedua, buku berjudul “Eksistensi JAMPIDMIL dalam Koordinasi Teknis Penuntutan yang dilakukan oleh Oditurat dan Penanganan Perkara Koneksitas” (dalam proses penerbitan) yang ditulis oleh Dr. RIZAL F, S.H., M.H. (Kepala Seksi TP. Napza pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah) dan Jefferson Hakim, S.H. (Analis Penuntutan pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat / Peserta PPPJ Angkatan 80 Gel. 2, Kelas 2) menyatakan bahwa setidaknya perlu ditetapkan indikator tertentu untuk menentukan titik berat kerugian, di antaranya:

1.    Tindak pidana yang dilanggar;

2.    Pelaku tindak pidana;

3.    Aspek yang dirugikan;

4.    Korban/kerusakan yang ditimbulkan;

5.    Tindak pidana yang memiliki pengadilan khusus;

6.    Perhatian publik.


Penulis adalah: Peserta PPPJ Angkatan 80 Tahun 2023, Gelombang 2, Kelas 2 (Calon Jaksa asal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat)

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال