JAKARTA- Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung dan
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa
Heru Hidayat, tuntutan mati tersebut dibacakan oleh JPU dalam persidangan
dengan agenda pembacaan tuntutan yang digelar pada Senin ( 6/12/2021 ) malam di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA
Khusus.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Simanjuntak
melalui siaran pers mengatakan persidangan dengan agenda Pembacaan Tuntutan
terhadap Terdakwa Heru Hidayat dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi oleh PT. ASABRI (Persero) pada beberapa
perusahaan periode tahun 2012 s/d 2019.
Leonanrd mengungkapkan pada awal persidangan, Jaksa
Penuntut Umum menyatakan Pemberatan Pidana Atas Perbuatan Terdakwa Heru Hidayat
dengan pertimbangan perbuatan Terdakwa Heru Hidayat dalam perkara ini telah
berakibat pada kerugian keuangan negara sangat besar seluruhnya sebesar
Rp22.788.566.482.083,00 (dua puluh dua triliun tujuh ratus delapan puluh
delapan miliar lima ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan puluh dua
ribu delapan puluh tiga rupiah), dimana atribusi dari kerugian keuangan negara
tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp.12.643.400.946.226 (dua
belas triliun enam ratus empat puluh tiga miliar empat ratus juta sembilan
ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah).
“ Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang
dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan
sangat menciderai rasa keadilan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Terdakwa Heru Hidayat juga telah
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah
merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 (enam belas triliun delapan
ratus tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh
lima ribu rupiah) dengan atribusi yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat seluruhnya
sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00 (sepuluh triliun tujuh ratus dua puluh
delapan miliar tujuh ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima
ribu rupiah).
“ Skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa
baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT.
Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan
sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan
berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang
menggunakan instrument pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak
sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar
modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat
banyak dan bersifat meluas,” bebernya.
Secara langsung akibat perbuatan terdakwa telah
menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan
yang menjadi peserta di PT. ASABRI, hal ini ini juga termasuk dalam perkara
korupsi pada PT. ASABRI termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap
ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT. Asuransi Jiwasraya yang tentu juga
berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya.
“ Perbuatan Terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan
masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem
regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat
kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa
takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum,”
kata Leonard geram.
Leonard menyebut Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki
sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang
diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan
yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung
pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di
pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.
Dalam persidangan Terdakwa Heru Hidayat tidak menunjukkan
rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah
dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa
keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan.
Mengacu pada pengertian umum sebagaimana misalnya
dalam KBBI, yang mengartikan “pengulangan” sebagai proses, cara, perbuatan
mengulang”. Jika tersebut, maka terdapat 2 (dua) konstruksi perbuatan
terdakwa yang relevan dimaknai sebagai pengulangan yaitu:
a) HERU HIDAYAT telah
melakukan 2 (dua) perbuatan korupsi yaitu dalam perkara Korupsi PT. AJS dan
perkara Korupsi PT. Asabri, dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat
dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT. AJS sejak
2008 s.d. 2018 dan PT. ASABRI sejak tahun 2012 s.d. 2019)
b) Dalam perkara korupsi pada
PT. ASABRI dilakukan oleh Terdakwa HERU HIDAYATdilakukan sejak periode sejak
tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakterisktik perbuatannya dilakukan
secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang
mengakibatkan kerugian bagi PT. ASABRI.
Selanjutnya terkait dengan Dakwaan Tidak menyebut
Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase “Keadaan tertentu”
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan
bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
“Yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi…”
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga
dinyatakan bahwa:
“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat
ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan
ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman
pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana”
Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2)
seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati
karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, karena cukup terpenuhinya
keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan
pidana mati dapat diterapkan. Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat
(2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap
fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa HERU HIDAYAT sangat tepat dan
memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati.
Maka
dengan alasan pertimbangan dimaksud, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan
terhadap Terdakwa HERU HIDAYAT dengan amar putusan sebagai berikut:
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melanggar Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.
Membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 (dua belas
triliun enam ratus empat puluh tiga milyar empat ratus juta sembilan ratus
empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah) dengan ketentuan jika
Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah
putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (Muzer/ Rls)